Etika Menuntut Ilmu
pada Tulisan kali ini saya akan mencoba menyampaikan etika-etika dasar dalam mencari ilmu yang saya kutip dari buku “Tips Belajar Para Ulama”, terjemahan dari dua buah buku “Adabu Tholib al-’Ilm” karya Dr. Anas Ahmad Karzun dan “Kaifa Tathlub al-’Ilm” karya Dr. ‘Aidh al-Qorni, MA. Ada 13 etika dasar mencari ilmu yang disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Karzun dalam buku tersebut, yang dalam tulisan ini akan saya sampaikan ringkasannya (dengan sedikit perubahan redaksi, tapi sama sekali tak mengubah isi) sebagai berikut:
1. Ikhlas
Hal pertama yang harus digunakan sebagai senjata dan tolak ukur bagi penuntut ilmu adalah ikhlas karena Allah ta’ala, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sebab, Allah tidak akan menerima amal kecuali didasari ikhlas karena-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (TQS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Bila penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya karena Allah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar, usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka.
2. Beramal dengan ilmu dan menjauhi maksiat
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai amal. Sedangkan, orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, kelak pada hari kiamat ia akan ditanya tentang ilmunya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (TQS. Ash-Shaff [61] : 2-3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih” Sunan at-Tirmidzi no. 2418, Kitab Shifat al-Qiyamah)
Begitu juga, seorang penuntut ilmu harus menundukkan nafsunya dengna meninggalkan kemaksiatan. Sebab, hal itu akan membantunya untuk mendapatkan barakah ilmu dan cahayanya serta keikhlasan di dalam mencarinya.
3. Tawadhuk
Tawadhuk merupakan sifat orang beriman yang paling menonjol secara umum dan para penuntut ilmu secara khusus. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersikap tawadhuk, rendah hati dan berperangai lembut (lihat QS. Asy-Syu’ara [26] : 215). Allah juga menjelaskan bahwa sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain merupakan dua sifat yang dimurkai dan dilarang oleh Allah (lihat QS. Luqman [31] : 18).
Para penuntut ilmu hendaknya tetap berpegang teguh dengan sifat tawadhul serta mewaspadai sifat ujub dan merasa bangga dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Begitu pula, hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam. Jangan sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu merasa cukup dan berhenti menuntut ilmu.
4. Menghormati ulama dan majlis ilmu
Diantara adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama, bersikap tawadhuk kepada mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan kemampuan mereka. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar. Allah telah mengangkat kemampuan mereka dan meninggikan kedudukan mereka.
Salah satu hadits yang menganjurkan untuk menghormati dan tidak menyakiti ulama adalah sebagai berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka Aku telah umumkan perang kepadanya.’” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ar-Riqoq, Bab at-Tawadhdhu’ (VII/190))
Khatib al-Baghdadi telah meriwayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, keduanya berkata, “Kalaulah ulama itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak akan memiliki wali”.
5. Sabar dalam menuntut ilmu
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah, baik sebelum melaksanakan ketaatan tersebut dengan memperbaiki niat dan memutus segala sesuatu yang menyibukkannya dari ketaatan tersebut, ataupun saat melaksanakan ketaatan agar Allah ta’ala menyertai amalnya sehingga amal tersebut bisa dikerjakan dengan optimal.
Tidak diragukan lagi bahwa diantara ketaatan yang urgen yang membutuhkan kesabaran adalah menuntut ilmu dalam rangka mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Terutama dikarenakan nafsu manusia cenderung untuk bersantai dan bermalas-malasan. Sedangkan, menuntut ilmu membutuhkan usaha yang besar, berat, begadang (mengurangi jatah tidur), meninggalkan sikap berlebihan terhadap dunia, bersafar untuk mencarinya, bertemu dengan para ulama, senantiasa melakukan tanya jawab, menghafal, mengikuti, dan lain sebagainya.
6. Berlomba dalam menuntut ilmu
Setiap kali seorang penuntut ilmu mendalami ilmu dan pintu-pintunya terbuka untuknya, niscaya ia akan menambahnya, berkompetisi dalam mencarinya, dan berusaha untuk memilikinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (TQS. Thaha [20] : 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menganjurkan untuk memperkaya diri dengan ilmu dan tetap bersemangat berbekal diri dengan ilmu selama usia masih ada hingga ia bisa menggapai surga. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, “Seorang mukmin tidak akan pernah kenyang dengan kebaikan yang ia dengar, sehingga puncaknya adalah (ia memasuki) surga.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2686, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib”)
7. Jujur dan amanah
Seorang penuntut ilmu hendaknya memiliki sifat jujur dan amanah ketika menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Ia juga harus menjauhi pembelaan terhadap permasalahan apa saja yang bertentangan dengan kebenaran. Bila ia lupa dalam suatu perkara kemudian tampak kebenaran dihadapannya, maka ia harus segera kembali kepada kebenaran tanpa mencelanya agar ia tidak menjadi orang yang berkhianat terhadap ilmunya.
Diantara hal yang perlu dikritisi dari sebagian penuntut ilmu adalah peremehan mereka dalam mengeluarkan fatwa hanya karena telah mentelaah sebagian dari hukum-hukum syar’i. Bahkan, diantara mereka ada yang mengira bahwa ia telah menjadi orang yang ahli dalam berfatwa dan mengoreksi perkataan para fuqaha ataupun membantahnya.
Para salafush shalih rahimahumullah sangat teliti dan hati-hati dalam berfatwa kepada manusia karena takut kalau ada diantara mereka yang salah, mengeluarkan ucapan tentang Allah tanpa ilmu, atau menisbahkan sesuatu yang tidak ada dalam syari’at. Mereka menolak untuk berfatwa, padahal kemampuan mereka sangat tinggi dan keilmuan mereka sangat dalam.
8. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya
Diantara adab yang wajib dilakukan oleh seorang penuntut ilmu syar’i adalah menyebarkan ilmu di antara manusia, tidak menyembunyikannya dan tidak pula kikir dengan ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan orang yang menutupi ilmu dan mengancamnya dengan siksaan. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 159)
Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya bersemangat dalam menyebarkan ilmu kepada manusia, mengingatkan mereka dengan urusan agama, memperingatkan dari kelalaian dan kemaksiatan serta mengajarkan hukum halal dan haram. Seorang penuntut ilmu juga harus menyeru di jalan Allah dengan benar, terutama kepada keluarga, kerabat, tetangga dan umumnya kaum muslimin yang berada di sekitarnya dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, tidak takut dalam dakwahnya terhadap celaan para pencela.
9. Zuhud
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan dunia sebagai ladang beramal untuk kampung akhirat dan memerintahkan kita untuk memakmurkannya dengan amal shalih.
Hendaknya seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya di dunia ini seperti orang asing di negeri perantauan. Ia akan melihat apa yang bermanfaat baginya di negeri akhirat dan bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Ia juga akan melihat hal-hal yang akan menyibukkannya dan menghalang-halanginya dari akhirat sehingga ia bisa menjauhinya.
Seorang penuntut ilmu juga hendaknya berhias dengan zuhud terhadap dunia, tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan yang bisa melalaikannya dari menuntut ilmu, meninggalkan kehidupan glamor dan kemewahan yang bisa membuat jiwa terlena dan hati sibuk.
10. Mengoptimalkan waktu
Waktu itu lebih mahal daripada emas, karena waktu adalah kehidupan. Seorang penuntut ilmu tidak boleh menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bercanda dan bermain. Sebab, ia tidak akan bisa mengganti kesempatan yang telah berlalu dan kesempatan itu juga tidak akan menantinya. Begitu juga, barangsiapa yang tidak memanfaatkan waktunya, niscaya penderitaannya akan berkepanjangan, sebagaimana orang yang sakit akan terus menderita menanti datangnya waktu sehat dan semangat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab ar-Riqoq (VIII/180)
11. Mendiskusikan ilmu agar tidak lupa
Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki bahwa lupa adalah tabiat manusia serta menjadikan kemampuan intelektual dan daya ingat mereka berbeda-beda. Hal ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya: sifat lupa akan memacu seorang penuntut ilmu untuk mendiskusikan ilmu dan mengulangi pelajarannya dari waktu ke waktu. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pahala dan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, menambah pemahamannya, dan membandingkan antara yang ia pahami dengan apa yang ia hafal. Sehingga hal tersebut akan melekat kuat di dalam benaknya.
Dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saling mengunjungilah dan diskusikanlah hadits. Janganlah kalian membiarkan ilmu itu hilang.”
12. Menjaga wibawa dan rasa malu
Wibawa dan rasa malu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu untuk membedakan antara dirinya dengan selainnya. Jangan sampai ia terlena dengan orang lain dan tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara sepele yang dapat menjatuhkan kedudukan dan kewibawaannya. Hendaklah ia berhias dengan adab dan keindahan ilmu serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Hendaklah orang yang mencari hadits menjauhi sikap main-main, bergabung dengan majlis omong kosong, gelak tertawa, dan canda secara berlebihan. Sebab, yang diperbolehkan adalah canda ringan dan jarang-jarang dilakukan serta tidak keluar dari batasan etika dan ilmu. Adapun seseorang yang terus-menerus bercanda, berkata kotor, bertindak bodoh yang membuat sesak dada dan menimbulkan kejahatan, maka hal itu adalah tercela. Banyak canda dan tertawa akan menjauhkan wibawa seseorang dan menghilangkan harga dirinya.
13. Persahabatan yang baik
Teman yang baik adalah teman yang bisa mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan, persaudaraan yang tegak diatas kecintaan karena Allah dan saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, maka ia adalah persaudaraan yang kekal abadi. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan untuk memilih teman yang baik dan mengambil manfaat dari pergaulan yang baik itu. Beliau bersabda yang artinya, “Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah seorang diantara kalian melihat kepada siapa ia berteman.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2379, ia berkata, “Hadits ini hasan”. Abu Dawud no. 4833, dan selain keduanya).
Seorang penuntut ilmu sangat perlu untuk memilih teman yang baik yang akan mengajaknya untuk bersabar dalam menuntut ilmu, mengingatkannya tatkala lupa, menasihatinya ketika salah, dan mengarahkannya ketika tersesat.
Hal pertama yang harus digunakan sebagai senjata dan tolak ukur bagi penuntut ilmu adalah ikhlas karena Allah ta’ala, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sebab, Allah tidak akan menerima amal kecuali didasari ikhlas karena-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (TQS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Bila penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya karena Allah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar, usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka.
2. Beramal dengan ilmu dan menjauhi maksiat
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai amal. Sedangkan, orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, kelak pada hari kiamat ia akan ditanya tentang ilmunya. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (TQS. Ash-Shaff [61] : 2-3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih” Sunan at-Tirmidzi no. 2418, Kitab Shifat al-Qiyamah)
Begitu juga, seorang penuntut ilmu harus menundukkan nafsunya dengna meninggalkan kemaksiatan. Sebab, hal itu akan membantunya untuk mendapatkan barakah ilmu dan cahayanya serta keikhlasan di dalam mencarinya.
3. Tawadhuk
Tawadhuk merupakan sifat orang beriman yang paling menonjol secara umum dan para penuntut ilmu secara khusus. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersikap tawadhuk, rendah hati dan berperangai lembut (lihat QS. Asy-Syu’ara [26] : 215). Allah juga menjelaskan bahwa sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain merupakan dua sifat yang dimurkai dan dilarang oleh Allah (lihat QS. Luqman [31] : 18).
Para penuntut ilmu hendaknya tetap berpegang teguh dengan sifat tawadhul serta mewaspadai sifat ujub dan merasa bangga dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Begitu pula, hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam. Jangan sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu merasa cukup dan berhenti menuntut ilmu.
4. Menghormati ulama dan majlis ilmu
Diantara adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama, bersikap tawadhuk kepada mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan kemampuan mereka. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar. Allah telah mengangkat kemampuan mereka dan meninggikan kedudukan mereka.
Salah satu hadits yang menganjurkan untuk menghormati dan tidak menyakiti ulama adalah sebagai berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka Aku telah umumkan perang kepadanya.’” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ar-Riqoq, Bab at-Tawadhdhu’ (VII/190))
Khatib al-Baghdadi telah meriwayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, keduanya berkata, “Kalaulah ulama itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak akan memiliki wali”.
5. Sabar dalam menuntut ilmu
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah, baik sebelum melaksanakan ketaatan tersebut dengan memperbaiki niat dan memutus segala sesuatu yang menyibukkannya dari ketaatan tersebut, ataupun saat melaksanakan ketaatan agar Allah ta’ala menyertai amalnya sehingga amal tersebut bisa dikerjakan dengan optimal.
Tidak diragukan lagi bahwa diantara ketaatan yang urgen yang membutuhkan kesabaran adalah menuntut ilmu dalam rangka mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Terutama dikarenakan nafsu manusia cenderung untuk bersantai dan bermalas-malasan. Sedangkan, menuntut ilmu membutuhkan usaha yang besar, berat, begadang (mengurangi jatah tidur), meninggalkan sikap berlebihan terhadap dunia, bersafar untuk mencarinya, bertemu dengan para ulama, senantiasa melakukan tanya jawab, menghafal, mengikuti, dan lain sebagainya.
6. Berlomba dalam menuntut ilmu
Setiap kali seorang penuntut ilmu mendalami ilmu dan pintu-pintunya terbuka untuknya, niscaya ia akan menambahnya, berkompetisi dalam mencarinya, dan berusaha untuk memilikinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (TQS. Thaha [20] : 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menganjurkan untuk memperkaya diri dengan ilmu dan tetap bersemangat berbekal diri dengan ilmu selama usia masih ada hingga ia bisa menggapai surga. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, “Seorang mukmin tidak akan pernah kenyang dengan kebaikan yang ia dengar, sehingga puncaknya adalah (ia memasuki) surga.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2686, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib”)
7. Jujur dan amanah
Seorang penuntut ilmu hendaknya memiliki sifat jujur dan amanah ketika menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Ia juga harus menjauhi pembelaan terhadap permasalahan apa saja yang bertentangan dengan kebenaran. Bila ia lupa dalam suatu perkara kemudian tampak kebenaran dihadapannya, maka ia harus segera kembali kepada kebenaran tanpa mencelanya agar ia tidak menjadi orang yang berkhianat terhadap ilmunya.
Diantara hal yang perlu dikritisi dari sebagian penuntut ilmu adalah peremehan mereka dalam mengeluarkan fatwa hanya karena telah mentelaah sebagian dari hukum-hukum syar’i. Bahkan, diantara mereka ada yang mengira bahwa ia telah menjadi orang yang ahli dalam berfatwa dan mengoreksi perkataan para fuqaha ataupun membantahnya.
Para salafush shalih rahimahumullah sangat teliti dan hati-hati dalam berfatwa kepada manusia karena takut kalau ada diantara mereka yang salah, mengeluarkan ucapan tentang Allah tanpa ilmu, atau menisbahkan sesuatu yang tidak ada dalam syari’at. Mereka menolak untuk berfatwa, padahal kemampuan mereka sangat tinggi dan keilmuan mereka sangat dalam.
8. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya
Diantara adab yang wajib dilakukan oleh seorang penuntut ilmu syar’i adalah menyebarkan ilmu di antara manusia, tidak menyembunyikannya dan tidak pula kikir dengan ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan orang yang menutupi ilmu dan mengancamnya dengan siksaan. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 159)
Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya bersemangat dalam menyebarkan ilmu kepada manusia, mengingatkan mereka dengan urusan agama, memperingatkan dari kelalaian dan kemaksiatan serta mengajarkan hukum halal dan haram. Seorang penuntut ilmu juga harus menyeru di jalan Allah dengan benar, terutama kepada keluarga, kerabat, tetangga dan umumnya kaum muslimin yang berada di sekitarnya dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, tidak takut dalam dakwahnya terhadap celaan para pencela.
9. Zuhud
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan dunia sebagai ladang beramal untuk kampung akhirat dan memerintahkan kita untuk memakmurkannya dengan amal shalih.
Hendaknya seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya di dunia ini seperti orang asing di negeri perantauan. Ia akan melihat apa yang bermanfaat baginya di negeri akhirat dan bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Ia juga akan melihat hal-hal yang akan menyibukkannya dan menghalang-halanginya dari akhirat sehingga ia bisa menjauhinya.
Seorang penuntut ilmu juga hendaknya berhias dengan zuhud terhadap dunia, tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan yang bisa melalaikannya dari menuntut ilmu, meninggalkan kehidupan glamor dan kemewahan yang bisa membuat jiwa terlena dan hati sibuk.
10. Mengoptimalkan waktu
Waktu itu lebih mahal daripada emas, karena waktu adalah kehidupan. Seorang penuntut ilmu tidak boleh menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bercanda dan bermain. Sebab, ia tidak akan bisa mengganti kesempatan yang telah berlalu dan kesempatan itu juga tidak akan menantinya. Begitu juga, barangsiapa yang tidak memanfaatkan waktunya, niscaya penderitaannya akan berkepanjangan, sebagaimana orang yang sakit akan terus menderita menanti datangnya waktu sehat dan semangat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab ar-Riqoq (VIII/180)
11. Mendiskusikan ilmu agar tidak lupa
Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki bahwa lupa adalah tabiat manusia serta menjadikan kemampuan intelektual dan daya ingat mereka berbeda-beda. Hal ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya: sifat lupa akan memacu seorang penuntut ilmu untuk mendiskusikan ilmu dan mengulangi pelajarannya dari waktu ke waktu. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pahala dan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, menambah pemahamannya, dan membandingkan antara yang ia pahami dengan apa yang ia hafal. Sehingga hal tersebut akan melekat kuat di dalam benaknya.
Dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saling mengunjungilah dan diskusikanlah hadits. Janganlah kalian membiarkan ilmu itu hilang.”
12. Menjaga wibawa dan rasa malu
Wibawa dan rasa malu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu untuk membedakan antara dirinya dengan selainnya. Jangan sampai ia terlena dengan orang lain dan tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara sepele yang dapat menjatuhkan kedudukan dan kewibawaannya. Hendaklah ia berhias dengan adab dan keindahan ilmu serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Hendaklah orang yang mencari hadits menjauhi sikap main-main, bergabung dengan majlis omong kosong, gelak tertawa, dan canda secara berlebihan. Sebab, yang diperbolehkan adalah canda ringan dan jarang-jarang dilakukan serta tidak keluar dari batasan etika dan ilmu. Adapun seseorang yang terus-menerus bercanda, berkata kotor, bertindak bodoh yang membuat sesak dada dan menimbulkan kejahatan, maka hal itu adalah tercela. Banyak canda dan tertawa akan menjauhkan wibawa seseorang dan menghilangkan harga dirinya.
13. Persahabatan yang baik
Teman yang baik adalah teman yang bisa mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan, persaudaraan yang tegak diatas kecintaan karena Allah dan saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, maka ia adalah persaudaraan yang kekal abadi. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan untuk memilih teman yang baik dan mengambil manfaat dari pergaulan yang baik itu. Beliau bersabda yang artinya, “Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah seorang diantara kalian melihat kepada siapa ia berteman.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2379, ia berkata, “Hadits ini hasan”. Abu Dawud no. 4833, dan selain keduanya).
Seorang penuntut ilmu sangat perlu untuk memilih teman yang baik yang akan mengajaknya untuk bersabar dalam menuntut ilmu, mengingatkannya tatkala lupa, menasihatinya ketika salah, dan mengarahkannya ketika tersesat.