JODOH Rahasia ALLAH
“Apakah kamu percaya jodoh, Fahri?” tanya Maria pada Fahri.
Fahri menjawab dengan bijak, “Ya, setiap orang punya …”
“…Jodohnya masing-masing” sambung Maria.”
Aku tertegun mendengar cuplikan dialog dalam filmAyat Ayat Cinta yang sedang ku tonton. Ya, setiap orang punya jodohnya masing-masing. Jodoh… Aku menarik nafas dalam-dalam setiap kali memikirkan tentang jodoh. Kapankah aku betemu dengan jodohku? 40 tahun bukanlah usia yang muda untuk menikah. Aku sudah bosan mendengar pertanyaan kapan aku akan menikah. Apakah bulan Mei? Meibi yes, meibi no.
Jodohku…seperti apakah dia? Sedikitpun aku tak dapat mengira-ngira bayangannya. Apakah dia tampan? Apakah dia sholeh seperti yang aku idamkan? Yang hanya dapat aku lakukan adalah terus memperbaiki diri untuk menjadi hamba yang baik di mata Allah, karena Allah menjanjikan laki-laki yang untuk wanita yang baik pula.
Secara fisik, aku lumayan cantik dan menarik, berpendidikan, dan karirku bagus. Saat ini aku sudah menjadi Marketing Manager di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di tanah air. Apakah karena jabatan dan pendidikanku yang tinggi lantas laki-laki menjadi segan meminangku? Apa salahnya dengan pendidikan yang tinggi, aku hanya ingin terus belajar dan belajar. Dan karir yang bagus, itu adalah takdir Allah atas kerja kerasku.
Ada perasaan iri setiap menghadiri pesta pernikahan temanku, bahkan anak temanku. Soal perasaan minder, itu sudah berkurang dibanding tahun-tahun yang lalu, aku sudah terbiasa. Apalagi di kota besar telat menikah bukan hal yang aneh. Tapi aku tak ingin menyamakan diriku dengan mereka. Mereka menunda menikah karena merasa belum siap secara moril maupun materil, padahal dengan gajinya mereka bisa menghajikan satu orang setiap bulan. Ada yang malas untuk berkomitmen karena takut bercerai, takut sakit hati, tapi yang pasti mereka takut bertanggung jawab. Sedangkan aku, aku sudah beberapa kali mencoba namun seperti biasa belum jodoh.
“Neng, ngelamun aja” kejut Andi membuyarkan lamunanku. “Kenapa sih? Udah jangan dipikirin, dia memang gitu orangnya” kelakarnya kemudian.
Aku tertawa. Ah, aku tak ingin masalah ini merusak hari-hariku.
“Makan siang bareng, yuk” ajaknya kemudian.
Aku mengiyakan ajakannya. Kami makan siang di restoran Padang di food court kantorku. Andi adalah temanku semenjak aku bekerja di kantor ini, walaupun posisinya di bawahku namun aku tak pernah menganggap diriku lebih tinggi. Aku punya feeling bahwa Andi menyukaiku, itu terlihat dari sikapnya yang sangat perhatian padaku. Namun perasaanku padanya tidak begitu kuat, sampai saat ini aku belum memberikan sinyal bahwa aku juga menyukainya. Tapi entahlah, aku tak bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti, aku tetap memberi peluang untuknya, karena ia baik dan sangat menghargaiku.
Ada satu lagi laki-laki yang aku pertimbangkan. Dia laki-laki yang ditawarkan orang tuaku. Namanya mas Farhan, lebih tua dua tahun dariku, dan dia seorang duda dengan satu anak perempuan. Istrinya meninggal ketika melahirkan. Saat ini anaknya berumur 6 tahun. Tidak ada masalah dengan anaknya, karena aku sangat menyukai anak-anak. Dan anaknya juga sepertinya menyukaiku.
“Tante, kenapa tante belum menikah juga?” tanya Dea, anak perempuan mas Farhan.
Aku tersenyum mencari jawaban yang bisa diterima anak-anak.
“Tante belum punya pacar” jawabku sekenanya.
Kemudian anak kecil itu membisikiku, “Tante mau nggak sama papaku? Papaku kan ganteng, jomblo lagi”.
Mukaku bersemu merah. Anak kecil sekarang cepat sekali dewasa.
Tapi aku belum dapat menjawab, kerena sampai sekarang papanya belum menanyakan secara langsung padaku.
Aku melangkah keluar studio bioskop sambil memagang jus stroberi yang belum habis. Sesungguhnya yang nonton tadi adalah badanku saja, sedang rohku entah kemana. Sepanjang film tadi aku hanya berpikr tantang jodoh. Aku sudah beberapa kali nonton film ini, Ayat ayat Cinta. Film ini tak pernah bosan untuk ditonton. Seandainya aku bertemu dengan lelaki seperti Fahri, dan aku adalah Aisha, tapi aku tak ingin ada Maria, kalau dia dekat-dekat dengan Fahri akan kuenyahkan dia, hahahaha.
Bruk! Gelas jus stroberi terlepas dari genggamanku. Seorang laki-laki buru-buru mengelap bajunya yang tertumpah jus stroberiku. Inilah akibatnya kalau terlalu banyak brkhayal, seorang laki-laki jadi korban keteledoranku.
“Maaf, Mas. Saya yang salah” Aku minta maaf sambil mengambil saputanganku dan ketika akan mengelap tumpahan di bajunya ia buru-buru menghindar.
“Oh, ya sudah. Ngga apa-apa , Mba. It’s ok” katanya pelan.
“Aduh, Mas. Saya benar-benar minta maaf. Saya ngga konsentrasi” Aku minta maaf sekali lagi.
Laki-laki itu menatapku lama lalu tersenyum, “Masih kepikiran film tadi ya? Filmnya memang benar-benar menyentuh ya. Jarang ada film seperti ini”.
Aku membalas senyumannya, tenyata dia tidak marah. “Aku sudah nonton 3 kali lho” ceritaku tanpa ditanya.
“Oh,ya. Saya baru kali ini nonton. Baru sempat.” jawabnya kemudian.
Aku mengangguk-angguk tidak jelas, grogi mungkin.
“Kenalin, saya Adam” dia mempelkan kedua tangannnya di depan dada.
Aku juga menempelkan tanganku didepan dada, “Nadya” balasku. Aku memang tak bersentuhan bila bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimku. Selain karena ketentuan dalam Alquran, sejak dulu walaupun ketika aku belum berhijab pun aku tidak suka bersalaman laki-laki, siapa dia baru kenal saja sudah menyentuhku. Idealis memang, bahkan beberapa temanku mengataiku sok suci, tak aku tak peduli.
“Nonton sendirian ya?” tanyanya.
“Iya. Sedang ingin sendiri” jawabku.
Kemudian kami berjalan beriringan keluar bioskop. Sebelum berpisah kami bertukar nomor
telepon. Hmm, tampangnya sepintas mirip Saiful, teman Fahri. Duh, lagi-lagi Fahri, benar merasuki hatiku.
Handphone-ku berbunyi. Mas Farhan menelpon.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam, Mas. Ada apa?”
“Ngga, mau nanya kabar aja. Kamu lagi dimana nih?” tanya Mas Farhan.
“Saya lagi di mall, Mas” jawabku.
“Oo..”
Hening.
“Nad, besok aku mau ke Brunei ada kerjaan. Paling nggak seminggu lah. Aku minta tolong liatin Dea ya kalau kamu sempat, dia di rumah berdua dengan Mbo Surti. Dea ngga mau dititipkan ke adikku. Bisa kan, Nad? Aku perhatikan kalian lumayan dekat.”
“Insya Allah, Mas” jawabku.
“Oke gitu aja ya. Makasih banyak lho sebelumnya”.
“Iya, sama-sama”.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam”.
Aku menghela nafas. Aku memang dekat dengan anak kamu, tapi tidak dengan kamu… gumanku dalam hati.
Malamnya….
Aku duduk di teras belakang ditemani ibu.
“Ndhuk, gimana mas Farhan sudah ngomong sama kamu belum? tanya Ibu.
“Belum tuh. Aku juga tidak berharap terlalu banyak sama dia. Sepertinya dia belum mau menikah lagi, Bu”.
“Trus temanmu itu, si Andi, gimana hubungan kamu sama dia?” tanya ibu lagi.
“Aku sama Andi hanya berteman, Bu. Lagian usianya 5 tahun lebih muda dari aku, malas ah” jawabku.
“Nadya, ibu pingin sebelum meninggal kamu sudah menikah”
“Iya, Bu. Mau gimana lagi belum ketemu jodohnya”.
Kriiing!! Kriiing!! Telepon rumah berdering. Aku masuk ke dalam mengangkat telepon.
“Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam”
“Bisa bicara dengan Nadya?” tanya suara dari telepon.
“Saya sendiri, maaf ini dengan siapa ya?” tanyaku.
“Nadya, ini Ustadz Ansori”
“Oh, Ustad. Maaf gak kenal suaranya”
“Kamu kemana aja Nadya? Sudah 3 minggu kamu tidak datang ke pengajian?” tanya Ustadz Ansori.
“Maaf Ustadz, saya akhir-akhir ini luar biasa sibuknya. Saya kecapean sehabis ngantor, jadi gak bisa datang ke pengajian” jelasku.
“Oo…Ustad bisa mengerti. Begini lho Nadya, Ustadz mau menawarkan laki-laki untuk jadi suamimu, kamu belum menikah juga kan?”
“Belum lah, Ustadz”
“Begini, laki-laki ini adalah murid pengajian Ustdz juga. Besok dia akan menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Tiba-tiba tadi sore dia menelpon Ustadz katanya calon istrinya kabur dari rumah dengan pacarnya. Dia bingung sekali, sedangkan undangan sudah disebar, gedung dan katering beserta lain-lainnya sudah beres semua. Dia tidak memaksakan calon istrinya itu untuk menikah kalau memang tidak mau. Nah Nadya, maukah kamu menikah dengannya?”
Aku tergagap menjawab pertanyaan Ustadz Ansori, “Apakah harus secepat ini? Saya bahkan tidak tau siapa orangnya?”.
“Lelaki ini adalah lelaki yang baik, Ustadz bisa menjamin itu. Insya Allah pernikahan kalian nanti bahagia dan langgeng” tambah Ustadz lagi.
Ya Allah, mungkinkah ini jodohku? Bila ini memang jodohku berilah aku kekuatan untuk menjawab ‘iya’.
“Sebentar Ustadz, saya ingin berbicara dengan Ibu saya”.
Aku berlari menemui ibu di teras. Kujelaskan semuanya. Ibu terdiam sejenak memikirkan tawaran ini. Kemudian…
“Ibu percaya Ustadz Ansori. Kamu boleh menikah dengan lelaki itu.”
Keringat dingin keluar dari badanku. Sekarang semua keputusan ada di tanganku.
Aku mengangkat gagang telepon.
“Halo Ustadz”
“Ya, gimana Nadya?”
Kutarik nafas dalam-dalam, “Bismillah, saya bersedia Ustadz”.
“Alhamdulillah, mungkin dia memang jodohmu, Nadya”.
“Gimana selanjutnya Ustadz, saya tidak punya persiapan apa-apa”.
“Kamu tidak usah khawatir, besok pagi mungkin jam 8, kami akan datang ke rumahmu. Kamu hanya perlu mempersiapkan mental kamu saja”.
Aku tidak bisa bicara, ini mendadak sekali.
“Baiklah Nadya, Ustadz sarankan kamu malam ini untuk sholat Tahajud, agar besok kamu menjadi tenang”
“Baik, Ustadz”
“Assalamu alaikum”
“Waalaikumsalam”. Klik.
Aku tidak dapat tidur. Aku mengikuti saran Ustadz Ansori untuk sholat Tahajud. Aku berdoa dengan khusyuk. Air mataku meleleh. Aku berdoa agar aku tidak salah membuat keputusan menerima tawaran Ustadz Ansori.
Keesokan paginya, iring-iringan mobil datang ke rumahku. Akad nikah dilakukan di rumahku. Aku hanya memakai gamis putih yang kubeli sewaktu ke Turki. Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Usatdz Ansori keluar dari mobil diikuti oleh seorang laki-laki nampaknya dialah calon suamiku.
“Assalamu alaikum” sapa Ustadz dan laki-laki itu kepada ibuku yang sudah menunggu di teras depan rumah.
“Waalaikum salam”jawab ibu. “Selamat datang, maaf kami tidak ada penyambutan sewajarnya, harap maklum”.
“Tidak apa-apa Ibu, justru saya yang mengucapkan terima kasih kepada Ibu” kata lali-laki itu.
Kemudian Ibu, Ustadz, calon suamiku dan keluarga besarnya masuk ke dalam.
“Nadya…kemari nak” panggil Ibu.
Badanku gemetaran, aku tertunduk malu. Kuberanikan diri untuk melihat calon suamiku.
“Kamu?!” Aku tak percaya dengan penglihatanku.
“Lho, kamu?” Dia juga kaget.
Ustadz juga ikut kaget, “Lho, kalian sudah saling kenal yah?”.
Aku melongo.
Laki-laki itu kemudian menjelaskan kepada Ustadz, “Kami pernah betemu di bioskopUstadz, cuma sekali ketemu, setelah itu kami tidak ada kontak apa-apa, karena saya sudah meminang wanita lain. Waktu itu dia menabrak saya sehingga minumannya tumpah ke baju saya”.
Aku tesipu malu, “Adam kan?”.
“Iya saya Adam, Nadya” jawabnya sambil tersenyum.
“Wah, bagus toh kalau begitu, mari segera dimulai jangan lama-lama” timpal Ibu diikuti tawa keluarga Adam.
Fahri menjawab dengan bijak, “Ya, setiap orang punya …”
“…Jodohnya masing-masing” sambung Maria.”
Aku tertegun mendengar cuplikan dialog dalam filmAyat Ayat Cinta yang sedang ku tonton. Ya, setiap orang punya jodohnya masing-masing. Jodoh… Aku menarik nafas dalam-dalam setiap kali memikirkan tentang jodoh. Kapankah aku betemu dengan jodohku? 40 tahun bukanlah usia yang muda untuk menikah. Aku sudah bosan mendengar pertanyaan kapan aku akan menikah. Apakah bulan Mei? Meibi yes, meibi no.
Jodohku…seperti apakah dia? Sedikitpun aku tak dapat mengira-ngira bayangannya. Apakah dia tampan? Apakah dia sholeh seperti yang aku idamkan? Yang hanya dapat aku lakukan adalah terus memperbaiki diri untuk menjadi hamba yang baik di mata Allah, karena Allah menjanjikan laki-laki yang untuk wanita yang baik pula.
Secara fisik, aku lumayan cantik dan menarik, berpendidikan, dan karirku bagus. Saat ini aku sudah menjadi Marketing Manager di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di tanah air. Apakah karena jabatan dan pendidikanku yang tinggi lantas laki-laki menjadi segan meminangku? Apa salahnya dengan pendidikan yang tinggi, aku hanya ingin terus belajar dan belajar. Dan karir yang bagus, itu adalah takdir Allah atas kerja kerasku.
Ada perasaan iri setiap menghadiri pesta pernikahan temanku, bahkan anak temanku. Soal perasaan minder, itu sudah berkurang dibanding tahun-tahun yang lalu, aku sudah terbiasa. Apalagi di kota besar telat menikah bukan hal yang aneh. Tapi aku tak ingin menyamakan diriku dengan mereka. Mereka menunda menikah karena merasa belum siap secara moril maupun materil, padahal dengan gajinya mereka bisa menghajikan satu orang setiap bulan. Ada yang malas untuk berkomitmen karena takut bercerai, takut sakit hati, tapi yang pasti mereka takut bertanggung jawab. Sedangkan aku, aku sudah beberapa kali mencoba namun seperti biasa belum jodoh.
“Neng, ngelamun aja” kejut Andi membuyarkan lamunanku. “Kenapa sih? Udah jangan dipikirin, dia memang gitu orangnya” kelakarnya kemudian.
Aku tertawa. Ah, aku tak ingin masalah ini merusak hari-hariku.
“Makan siang bareng, yuk” ajaknya kemudian.
Aku mengiyakan ajakannya. Kami makan siang di restoran Padang di food court kantorku. Andi adalah temanku semenjak aku bekerja di kantor ini, walaupun posisinya di bawahku namun aku tak pernah menganggap diriku lebih tinggi. Aku punya feeling bahwa Andi menyukaiku, itu terlihat dari sikapnya yang sangat perhatian padaku. Namun perasaanku padanya tidak begitu kuat, sampai saat ini aku belum memberikan sinyal bahwa aku juga menyukainya. Tapi entahlah, aku tak bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti, aku tetap memberi peluang untuknya, karena ia baik dan sangat menghargaiku.
Ada satu lagi laki-laki yang aku pertimbangkan. Dia laki-laki yang ditawarkan orang tuaku. Namanya mas Farhan, lebih tua dua tahun dariku, dan dia seorang duda dengan satu anak perempuan. Istrinya meninggal ketika melahirkan. Saat ini anaknya berumur 6 tahun. Tidak ada masalah dengan anaknya, karena aku sangat menyukai anak-anak. Dan anaknya juga sepertinya menyukaiku.
“Tante, kenapa tante belum menikah juga?” tanya Dea, anak perempuan mas Farhan.
Aku tersenyum mencari jawaban yang bisa diterima anak-anak.
“Tante belum punya pacar” jawabku sekenanya.
Kemudian anak kecil itu membisikiku, “Tante mau nggak sama papaku? Papaku kan ganteng, jomblo lagi”.
Mukaku bersemu merah. Anak kecil sekarang cepat sekali dewasa.
Tapi aku belum dapat menjawab, kerena sampai sekarang papanya belum menanyakan secara langsung padaku.
Aku melangkah keluar studio bioskop sambil memagang jus stroberi yang belum habis. Sesungguhnya yang nonton tadi adalah badanku saja, sedang rohku entah kemana. Sepanjang film tadi aku hanya berpikr tantang jodoh. Aku sudah beberapa kali nonton film ini, Ayat ayat Cinta. Film ini tak pernah bosan untuk ditonton. Seandainya aku bertemu dengan lelaki seperti Fahri, dan aku adalah Aisha, tapi aku tak ingin ada Maria, kalau dia dekat-dekat dengan Fahri akan kuenyahkan dia, hahahaha.
Bruk! Gelas jus stroberi terlepas dari genggamanku. Seorang laki-laki buru-buru mengelap bajunya yang tertumpah jus stroberiku. Inilah akibatnya kalau terlalu banyak brkhayal, seorang laki-laki jadi korban keteledoranku.
“Maaf, Mas. Saya yang salah” Aku minta maaf sambil mengambil saputanganku dan ketika akan mengelap tumpahan di bajunya ia buru-buru menghindar.
“Oh, ya sudah. Ngga apa-apa , Mba. It’s ok” katanya pelan.
“Aduh, Mas. Saya benar-benar minta maaf. Saya ngga konsentrasi” Aku minta maaf sekali lagi.
Laki-laki itu menatapku lama lalu tersenyum, “Masih kepikiran film tadi ya? Filmnya memang benar-benar menyentuh ya. Jarang ada film seperti ini”.
Aku membalas senyumannya, tenyata dia tidak marah. “Aku sudah nonton 3 kali lho” ceritaku tanpa ditanya.
“Oh,ya. Saya baru kali ini nonton. Baru sempat.” jawabnya kemudian.
Aku mengangguk-angguk tidak jelas, grogi mungkin.
“Kenalin, saya Adam” dia mempelkan kedua tangannnya di depan dada.
Aku juga menempelkan tanganku didepan dada, “Nadya” balasku. Aku memang tak bersentuhan bila bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimku. Selain karena ketentuan dalam Alquran, sejak dulu walaupun ketika aku belum berhijab pun aku tidak suka bersalaman laki-laki, siapa dia baru kenal saja sudah menyentuhku. Idealis memang, bahkan beberapa temanku mengataiku sok suci, tak aku tak peduli.
“Nonton sendirian ya?” tanyanya.
“Iya. Sedang ingin sendiri” jawabku.
Kemudian kami berjalan beriringan keluar bioskop. Sebelum berpisah kami bertukar nomor
telepon. Hmm, tampangnya sepintas mirip Saiful, teman Fahri. Duh, lagi-lagi Fahri, benar merasuki hatiku.
Handphone-ku berbunyi. Mas Farhan menelpon.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam, Mas. Ada apa?”
“Ngga, mau nanya kabar aja. Kamu lagi dimana nih?” tanya Mas Farhan.
“Saya lagi di mall, Mas” jawabku.
“Oo..”
Hening.
“Nad, besok aku mau ke Brunei ada kerjaan. Paling nggak seminggu lah. Aku minta tolong liatin Dea ya kalau kamu sempat, dia di rumah berdua dengan Mbo Surti. Dea ngga mau dititipkan ke adikku. Bisa kan, Nad? Aku perhatikan kalian lumayan dekat.”
“Insya Allah, Mas” jawabku.
“Oke gitu aja ya. Makasih banyak lho sebelumnya”.
“Iya, sama-sama”.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam”.
Aku menghela nafas. Aku memang dekat dengan anak kamu, tapi tidak dengan kamu… gumanku dalam hati.
Malamnya….
Aku duduk di teras belakang ditemani ibu.
“Ndhuk, gimana mas Farhan sudah ngomong sama kamu belum? tanya Ibu.
“Belum tuh. Aku juga tidak berharap terlalu banyak sama dia. Sepertinya dia belum mau menikah lagi, Bu”.
“Trus temanmu itu, si Andi, gimana hubungan kamu sama dia?” tanya ibu lagi.
“Aku sama Andi hanya berteman, Bu. Lagian usianya 5 tahun lebih muda dari aku, malas ah” jawabku.
“Nadya, ibu pingin sebelum meninggal kamu sudah menikah”
“Iya, Bu. Mau gimana lagi belum ketemu jodohnya”.
Kriiing!! Kriiing!! Telepon rumah berdering. Aku masuk ke dalam mengangkat telepon.
“Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam”
“Bisa bicara dengan Nadya?” tanya suara dari telepon.
“Saya sendiri, maaf ini dengan siapa ya?” tanyaku.
“Nadya, ini Ustadz Ansori”
“Oh, Ustad. Maaf gak kenal suaranya”
“Kamu kemana aja Nadya? Sudah 3 minggu kamu tidak datang ke pengajian?” tanya Ustadz Ansori.
“Maaf Ustadz, saya akhir-akhir ini luar biasa sibuknya. Saya kecapean sehabis ngantor, jadi gak bisa datang ke pengajian” jelasku.
“Oo…Ustad bisa mengerti. Begini lho Nadya, Ustadz mau menawarkan laki-laki untuk jadi suamimu, kamu belum menikah juga kan?”
“Belum lah, Ustadz”
“Begini, laki-laki ini adalah murid pengajian Ustdz juga. Besok dia akan menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Tiba-tiba tadi sore dia menelpon Ustadz katanya calon istrinya kabur dari rumah dengan pacarnya. Dia bingung sekali, sedangkan undangan sudah disebar, gedung dan katering beserta lain-lainnya sudah beres semua. Dia tidak memaksakan calon istrinya itu untuk menikah kalau memang tidak mau. Nah Nadya, maukah kamu menikah dengannya?”
Aku tergagap menjawab pertanyaan Ustadz Ansori, “Apakah harus secepat ini? Saya bahkan tidak tau siapa orangnya?”.
“Lelaki ini adalah lelaki yang baik, Ustadz bisa menjamin itu. Insya Allah pernikahan kalian nanti bahagia dan langgeng” tambah Ustadz lagi.
Ya Allah, mungkinkah ini jodohku? Bila ini memang jodohku berilah aku kekuatan untuk menjawab ‘iya’.
“Sebentar Ustadz, saya ingin berbicara dengan Ibu saya”.
Aku berlari menemui ibu di teras. Kujelaskan semuanya. Ibu terdiam sejenak memikirkan tawaran ini. Kemudian…
“Ibu percaya Ustadz Ansori. Kamu boleh menikah dengan lelaki itu.”
Keringat dingin keluar dari badanku. Sekarang semua keputusan ada di tanganku.
Aku mengangkat gagang telepon.
“Halo Ustadz”
“Ya, gimana Nadya?”
Kutarik nafas dalam-dalam, “Bismillah, saya bersedia Ustadz”.
“Alhamdulillah, mungkin dia memang jodohmu, Nadya”.
“Gimana selanjutnya Ustadz, saya tidak punya persiapan apa-apa”.
“Kamu tidak usah khawatir, besok pagi mungkin jam 8, kami akan datang ke rumahmu. Kamu hanya perlu mempersiapkan mental kamu saja”.
Aku tidak bisa bicara, ini mendadak sekali.
“Baiklah Nadya, Ustadz sarankan kamu malam ini untuk sholat Tahajud, agar besok kamu menjadi tenang”
“Baik, Ustadz”
“Assalamu alaikum”
“Waalaikumsalam”. Klik.
Aku tidak dapat tidur. Aku mengikuti saran Ustadz Ansori untuk sholat Tahajud. Aku berdoa dengan khusyuk. Air mataku meleleh. Aku berdoa agar aku tidak salah membuat keputusan menerima tawaran Ustadz Ansori.
Keesokan paginya, iring-iringan mobil datang ke rumahku. Akad nikah dilakukan di rumahku. Aku hanya memakai gamis putih yang kubeli sewaktu ke Turki. Aku mengintip dari jendela ruang tamu. Usatdz Ansori keluar dari mobil diikuti oleh seorang laki-laki nampaknya dialah calon suamiku.
“Assalamu alaikum” sapa Ustadz dan laki-laki itu kepada ibuku yang sudah menunggu di teras depan rumah.
“Waalaikum salam”jawab ibu. “Selamat datang, maaf kami tidak ada penyambutan sewajarnya, harap maklum”.
“Tidak apa-apa Ibu, justru saya yang mengucapkan terima kasih kepada Ibu” kata lali-laki itu.
Kemudian Ibu, Ustadz, calon suamiku dan keluarga besarnya masuk ke dalam.
“Nadya…kemari nak” panggil Ibu.
Badanku gemetaran, aku tertunduk malu. Kuberanikan diri untuk melihat calon suamiku.
“Kamu?!” Aku tak percaya dengan penglihatanku.
“Lho, kamu?” Dia juga kaget.
Ustadz juga ikut kaget, “Lho, kalian sudah saling kenal yah?”.
Aku melongo.
Laki-laki itu kemudian menjelaskan kepada Ustadz, “Kami pernah betemu di bioskopUstadz, cuma sekali ketemu, setelah itu kami tidak ada kontak apa-apa, karena saya sudah meminang wanita lain. Waktu itu dia menabrak saya sehingga minumannya tumpah ke baju saya”.
Aku tesipu malu, “Adam kan?”.
“Iya saya Adam, Nadya” jawabnya sambil tersenyum.
“Wah, bagus toh kalau begitu, mari segera dimulai jangan lama-lama” timpal Ibu diikuti tawa keluarga Adam.