Breaking News

Pak SBY ( Presiden RI ) Diagnosis Lima Penyakit Pemerintah

Ini respons atas sejumlah kritik keras terhadap kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan para pejabat pembantunya mulai dari level menteri hingga gubernur di Istana Bogor, Senin, 21 Februari 2011. Dalam pertemuan ini SBY menyampaikan berbagai kritik pedas untuk jajaran pemerintah pusat dan daerah. Dia bahkan bilang ada lima penyakit pemerintah saat ini.

Penyakit-penyakit itu, menurut diagnosa SBY, telah membuat pembangunan berjalan tidak efektif. Presiden lantas menguraikannya satu-persatu.

Pertama, SBY menyebut soal birokrasi pemerintah pusat yang berjalan lambat dan tidak sesuai perencanaan. "Dalam sidang kabinet diputuskan A. Menteri bilang mengerti A. Tapi, begitu mengalir di kementerian sering terhenti, sebulan tiga bulan tidak ada kabar," kata SBY.

Penyebabnya, bukannya langsung bergerak ke tahap implementasi, pejabat di kementerian masih meributkan program yang telah diputuskan itu. "Seharusnya mereka sadar, top decision maker itu Presiden, policy maker itu menteri. Sekali kita putuskan, jangan lagi ada diskusi kemudian tidak mengalir. Rugi kita," Presiden menegaskan.

Penyakit kedua, pemerintah daerah dinilai Presiden kerap menghambat program yang sudah diputuskan pemerintah pusat. Ada sejumlah program yang tidak berjalan karena bupati dan walikota tidak setuju. "Saya baru dilapori belakangan. Kalau ada alasan masuk akal, boleh. Tapi, kalau tidak, padahal itu investasi yang bisa mengurangi pengangguran dan menggerakkan ekonomi lokal," kritik SBY.

Yang ketiga adalah soal investor yang sering ingkar janji. Ini mengakibatkan banyak program seperti jalan tol hingga perkebunan tidak berjalan. "Terkunci, sehingga rakyat kita tidak dapat apa-apa."

Keempat, masih ada banyak regulasi yang menghambat. Menurut Presiden, sebetulnya peraturan-peraturan itu bisa dengan mudah dikoreksi, karena toh belum di level undang-undang atau UUD 1945 yang memiliki mekanisme sendiri untuk merevisinya.

Kelima, SBY menunjuk faktor kepentingan politik yang tidak sehat, baik di pemerintah pusat ataupun daerah. "Politik harus membawa solusi, tak boleh diartikan untuk kepentingan sempit, untuk mengunci segalanya. Karena yang tidak dapat apa-apa adalah rakyat kita."

Pepesan kosong

SBY pun menyoroti persoalan Ibukota Jakarta. Pembangunan infrastruktur mampet di sejumlah titik. "Saya kenyang dengan banyak sekali komitmen, seperti membangun infrastruktur di DKI. Semuanya pepesan kosong. Transportasi tidak jalan," kata Presiden dengan nada kesal. "Barangkali di daerah juga begitu."

Karena itu, Presiden minta supaya dibuat master plan yang detail. "Di atas kertas sesuai dengan jumlah yang pasti. Baik isi, siapa yang akan melakukan apa, dengan sasaran seperti apa," katanya.

Tak cuma pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara (BUMN) juga kena semprot Presiden. Awalnya, SBY menyatakan bahwa BUMN bisa menjadi pilar dan kontributor utama dalam pembangunan. Presiden lalu menyoroti BUMN yang masih berambisi memonopoli suatu wilayah, padahal kemampuannya terbukti tak memadai. "Kalau BUMN X mau mengembangkan ekonomi A tapi mampunya hanya 70 persen, ya sebegitu yang diberikan. Yang 30 persen diberikan untuk swasta," kata SBY.

Hal ini, menurut Presiden, perlu dilakukan BUMN sehingga pembangunan berjalan lancar dan tidak terganjal faktor ketidakmampuan BUMN menyelesaikan program.

Hujan kritik

Otokritik Presiden ini tak pelak seperti merupakan respons terhadap sejumlah kritik keras terhadap kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II, yang sebelumnya diutarakan berbagai kelompok masyarakat. Kritik dengan gaung paling kencang adalah yang disuarakan tokoh-tokoh lintas agama, seperti: Mantan Ketua Umum PP Muhamaddiyah Syafi'i Ma'arif, tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid, rohaniawan Katolik Franz Magnis-Suseno, dan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Andreas A. Yewangoe.

Dalam pernyataan sikapnya, tokoh-tokoh agama itu bahkan secara telak menyatakan pemerintahan SBY telah "berbohong." Mereka menghimpun 18 kebohongan pemerintah selama ini. Itu mulai dari soal angka kemiskinan, ketahanan pangan dan energi, anggaran pendidikan, hingga soal kebebasan beragama dan gelombang aksi kekerasan mengatasnamakan agama.

Untuk mengklarifikasi tudingan telah berbohong itu, Presiden lalu secara khusus mengundang para tokoh agama tersebut ke Istana Negara. (kd)
• VIVAnews.com