Adakah Kita, Yang Kehadirannya Dinantikan ?
Adakah Kita, Yang Kehadirannya Dinantikan - Tugas Mush’ab bin Umair telah usai, perintah Rasulullah untuk mendakwahi penduduk
Madinah telah ia tunaikan. Penduduk Madinah telah banyak yang masuk
islam. Iapun kembali ke Mekkah. Namun, Setibanya di Mekkah bukan ibunya
yang pertama kali ia cari. Padahal cukup lama ia meninggalkan orang
tuanya itu. Kerinduannya pada sosok yang lain, sebuah kerinduan yang
sudah tak tertangguhkan lagi. Ia tak sabar ingin segera melihat
wajahnya, melaporkan hasil dakwahnya. Kepada sosok yang terus bersamayam
di Qalbunya. Beliau adalah baginda Rasulullah SAW.
Inilah sepotong cerita tentang sisi kehidupan Rasulullah yang selalu dirindukan para sahabatnya. Dalam pergaulan sehari-hari kita juga bisa melihat, siapa saja orang-orang yang kehadirannya selalu di nantikan. Lalu perhatikanlah bagaimana kepribadiannya. Kita pasti menjadi sangat nyaman bersama orang-orang seperti ini. Mengapa? Karena hadir mereka mampu menghangatkan jiwa, memancarkan energi-energi kebajikan. Ketika hadir, ia menghangatkan suasana. Kalau berbicara, setiap rangkaian katanya menyejukkan qalbu. Saat diam, kian meneguhkan keimanan. Dan bila pergi, kita kembali merindu.
*
Menjadi pribadi yang dirindukan itu tidak bisa dipaksakan. Ia tidak lahir dengan sendirinya, prosesnya panjang dan juga rumit. Sebab, ini kerja hati. Namun, Kunci menjadi pribadi yang dirindukan itu sebenarnya sederhana saja, yaitu totalitas memberi dengan penuh keikhlasan. Selanjutnya hatilah yang mencerna semua itu.
*
Prinsipnya, menjadi pribadi yang dirindukan itu tidak perlu direncanakan. Lalukan saja segala kebajikan dengan hati yang tulus. Setelah itu biarkan semuanya berjalan secara alami. Dari ketulusan itulah nantinya lahir pesona jiwa. Tapi ingat, kita harus konsisten dalam ketulusan ini. Sebab tantangan selanjutnya adalah, ketika orang-orang merindukan kita maka lahirlah apa yang disebut pujian. Pada batas ini, bila semangat keikhlasan kita luntur. Tidak lagi konsisten pada ketulusan. Bersama dengan itu pula Pesona jiwa kita akan meredup.
*
Faktanya kita bisa melihat saat pemilu. Banyak orang yang memberi, mencoba menabur simpati. Berupaya untuk peduli. Tapi hasilnya? Nyaris tidak seperti yang mereka harapkan. Itu semua karena hal tadi. Bahwa rasa rindu tidak bisa dipaksakan, ia hanya lahir dari ketulusan.
*
“Berbahagialah orang-orang yang ikhlas, mereka adalah pelita-pelita hidayah yang menjadi terang dari setiap fitnah yang gelap”. (HR. Abu Nu’aim).
*
Mungkin sesekali kita perlu bertanya, apakah kita telah menjadi pribadi yang dirindukan. Yang setiap kehadirannya selalu dinantikan. Apakah saat kehadiran kita orang-orang langsung menghentikan pembicaraannya, menyalami kita dengan penuh kehangatan. Atau sebaliknya, ketika kita hadir orang-orang hanya menghentikan pembicaraannya sebentar, melirik lalu kembali bicara, tak terlalu diperdulikan.
*
Ini bukan berarti kita harus menonjolkan diri, ini hanya sebagai tolok ukur kita dalam menilai. Apakah selama ini kita telah menjadi peribadi yang bermanfaat. Apakah kita telah mampu menjadi sebaik-baiknya manusia yang diucapkan Rasulullah itu. Kalau kehadiran kita selama ini tidak kunjung mampu memberikan nilai-nilai positif apapun bagi orang lain. Maka wajarlah, bahwa tidak alasan pula bagi orang lain untuk merindukan diri ini.
*
Belajarlah dari Rasulullah tentang sebuah keteladanan, bagaimana semestinya menjadi pribadi yang dirindukan. Berbuat baiklah kepada siapapun, semaikanlah sebanyak mungkin kebajikan. Dan tentu saja, tuluslah melakukan semua itu. Cukuplah hanya Allah yang menjadi alasan kita untuk berbuat demikian. lalu perhatikanlah, saat kita pergi, orang-orang mulai memutuskan untuk merindukan kita kembali.
*
Maka sebenarnya, bukan tanpa alasan Mush’ab bin Umair lebih mendahulukan bertemu Rasulullah, dibandingkan ibunya sendiri. Rasa cintanya yang besar kepada Rasulullah-lah yang menggerakkan raganya. Namun, rasa cinta itu tidak lahir dengan sendirinya. Rasa cinta itu hadir karena keteduhan pribadi Rasulullah. Selanjutnya, keindahan pribadi baginda Rasul itu menggema dalam qalbu Mush’ab bin Umair. Dan akhirnya di sana, di dalam hati yang bening itu. Setelah lama tak berjumpa. Rasa cinta itupun menjelma menjadi sekuntum rindu.
Inilah sepotong cerita tentang sisi kehidupan Rasulullah yang selalu dirindukan para sahabatnya. Dalam pergaulan sehari-hari kita juga bisa melihat, siapa saja orang-orang yang kehadirannya selalu di nantikan. Lalu perhatikanlah bagaimana kepribadiannya. Kita pasti menjadi sangat nyaman bersama orang-orang seperti ini. Mengapa? Karena hadir mereka mampu menghangatkan jiwa, memancarkan energi-energi kebajikan. Ketika hadir, ia menghangatkan suasana. Kalau berbicara, setiap rangkaian katanya menyejukkan qalbu. Saat diam, kian meneguhkan keimanan. Dan bila pergi, kita kembali merindu.
*
Menjadi pribadi yang dirindukan itu tidak bisa dipaksakan. Ia tidak lahir dengan sendirinya, prosesnya panjang dan juga rumit. Sebab, ini kerja hati. Namun, Kunci menjadi pribadi yang dirindukan itu sebenarnya sederhana saja, yaitu totalitas memberi dengan penuh keikhlasan. Selanjutnya hatilah yang mencerna semua itu.
*
Prinsipnya, menjadi pribadi yang dirindukan itu tidak perlu direncanakan. Lalukan saja segala kebajikan dengan hati yang tulus. Setelah itu biarkan semuanya berjalan secara alami. Dari ketulusan itulah nantinya lahir pesona jiwa. Tapi ingat, kita harus konsisten dalam ketulusan ini. Sebab tantangan selanjutnya adalah, ketika orang-orang merindukan kita maka lahirlah apa yang disebut pujian. Pada batas ini, bila semangat keikhlasan kita luntur. Tidak lagi konsisten pada ketulusan. Bersama dengan itu pula Pesona jiwa kita akan meredup.
*
Faktanya kita bisa melihat saat pemilu. Banyak orang yang memberi, mencoba menabur simpati. Berupaya untuk peduli. Tapi hasilnya? Nyaris tidak seperti yang mereka harapkan. Itu semua karena hal tadi. Bahwa rasa rindu tidak bisa dipaksakan, ia hanya lahir dari ketulusan.
*
“Berbahagialah orang-orang yang ikhlas, mereka adalah pelita-pelita hidayah yang menjadi terang dari setiap fitnah yang gelap”. (HR. Abu Nu’aim).
*
Mungkin sesekali kita perlu bertanya, apakah kita telah menjadi pribadi yang dirindukan. Yang setiap kehadirannya selalu dinantikan. Apakah saat kehadiran kita orang-orang langsung menghentikan pembicaraannya, menyalami kita dengan penuh kehangatan. Atau sebaliknya, ketika kita hadir orang-orang hanya menghentikan pembicaraannya sebentar, melirik lalu kembali bicara, tak terlalu diperdulikan.
*
Ini bukan berarti kita harus menonjolkan diri, ini hanya sebagai tolok ukur kita dalam menilai. Apakah selama ini kita telah menjadi peribadi yang bermanfaat. Apakah kita telah mampu menjadi sebaik-baiknya manusia yang diucapkan Rasulullah itu. Kalau kehadiran kita selama ini tidak kunjung mampu memberikan nilai-nilai positif apapun bagi orang lain. Maka wajarlah, bahwa tidak alasan pula bagi orang lain untuk merindukan diri ini.
*
Belajarlah dari Rasulullah tentang sebuah keteladanan, bagaimana semestinya menjadi pribadi yang dirindukan. Berbuat baiklah kepada siapapun, semaikanlah sebanyak mungkin kebajikan. Dan tentu saja, tuluslah melakukan semua itu. Cukuplah hanya Allah yang menjadi alasan kita untuk berbuat demikian. lalu perhatikanlah, saat kita pergi, orang-orang mulai memutuskan untuk merindukan kita kembali.
*
Maka sebenarnya, bukan tanpa alasan Mush’ab bin Umair lebih mendahulukan bertemu Rasulullah, dibandingkan ibunya sendiri. Rasa cintanya yang besar kepada Rasulullah-lah yang menggerakkan raganya. Namun, rasa cinta itu tidak lahir dengan sendirinya. Rasa cinta itu hadir karena keteduhan pribadi Rasulullah. Selanjutnya, keindahan pribadi baginda Rasul itu menggema dalam qalbu Mush’ab bin Umair. Dan akhirnya di sana, di dalam hati yang bening itu. Setelah lama tak berjumpa. Rasa cinta itupun menjelma menjadi sekuntum rindu.